Ocehan Gue Nih :D

Monday 8 December 2014

Bunga

'Sebut saja, Bunga'
Begitu kata surat kabar harian. Padahal, namaku memang Bunga. Seperti yang sering digunakan di surat kabar mana pun, Bunga pastilah seorang korban wanita. Nama yang disamarkan.
Itu lah aku. Aku adalah korban kebejatan pamanku sendiri. Tidak sekali dua kali, berkali-kali dia memaksaku untuk melakukan hubungan suami istri dengannya. Alih-alih menolak, dia mengarahkan pistolnya ke kepalaku sebelum aku sempat menolaknya. Sampai suatu hari aku hamil, dan dengan teganya ia memintaku untuk menggugurkan janinku, darah dagingku sendiri.
Tentunya, dengan segala pertimbangan aku memutuskan setuju dengan perintahnya. Ia mengantarkan ku ke tempat dimana orang-orang sering melakukan aborsi. Tempatnya terpencil, jauh dari keramaian dan hingar bingar kota. Sepanjang perjalanan hanya terlihat pohon di kanan jalan dan jurang yg cukup dalam di sisi kiri jalan.
Begitu sampai di rumah aborsi. Kami sedang menunggu giliran. Terdengar suara jeritan seorang wanita dari dalam salah satu ruangan. Beberapa saat kemudian, wanita itu keluar dengan kursi roda dengan peluh yg membanjiri seluruh tubuhnya.
"Pasien berikutnya, Bunga."
Aku menoleh sebentar ke arah Pamanku, Ayah dari anakku, yg dengan gagahnya berpakaian dinas polisi, dengan tatapan nanar seakan meminta mohon padanya agar ia mencegahku melakukan aborsi. Bukan simpati, namun mata melotot yang malah ku dapatkan.
Aku menyerah. Aku berjalan gontai memasuki ruangan yang hanya disekat dengan gorden berwarna hijau. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang dan meja berisi peralatan untuk melakukan aborsi. Aku kemudian diminta mengganti pakaian dengan pakaian yg telah disiapkan dan berbaring diranjang tersebut.
Aku tidak ingin menceritakannya secara detail. Namun, disela-sela aborsi tersebut tiba-tiba aku mengalami pendarahan. Dan ini lah aku, sebuah jiwa yang tersesat. Tanpa raga. Aku melihat Pamanku panik. Kemudian ia bergegas masuk ke dalam mobil.
Seakan bisa membaca pikirannya. Ia telah membuat beberapa rencana. Ia akan membuat alibi, bahwa aku hamil karena pacarku dan ia mengantarkanku untuk melakukan aborsi. Sungguh licik. Ia bukan hanya membunuhku dan calon anaknya, tapi ia juga membunuh rasa kemanusiaannya.
Hujan deras menghantarkan Pamanku menuju rumah orang tua ku. Terlintas sebuah ide cemerlang dalam pikiranku. Orang sekeji dan sebejat Pamanku harus membayar apa yg telah ia perbuat. Nyawa dibayar nyawa.
Kubuat mobil Pamanku oleng dan pada akhirnya masuk ke dalam jurang. Aku lihat mobilnya meledak di dalam sana, di dalam jurang dengan kedalaman 5 sampai 7 meter.
"Nak, kini kita bisa hidup di neraka bersama Ayahmu yang bejat. Maafkan Ibumu ini, yang tidak bisa memberikan kehidupan layak padamu."

Saturday 6 December 2014

Nada

Bagaimana jika kali ini aku buat cerita tentang kematian, apa kau berani membacanya? Tidak. Bukan kematian si pemeran utama atau pun tokoh lainnya dalam cerita ini. Tapi tentang kematianku, sang penulis cerita ini.

Siap?

Hidupku biasa-biasa saja sebelum Ayah menikah dengan Tante Gina. Sekarang? Lihat saja sendiri. Tante Gina lihai memainkan perannya dihadapan Ayah. Begitu Ayah pergi, jiwa iblisnya keluar tidak tanggung-tanggung.

Jatah uang saku ku dan Noval, adik lelaki ku, tak pernah sampai ke tangan kami. Entahlah, mana yg Ayah sayangi sampai mempercayakan kami pada iblis satu itu.

Belum lagi kelakuan hina Tante Gina ketika Ayah mendapat tugas ke luar kota. Tidak tanggung-tanggung ia membawa serta beberapa laki-laki ke dalam kamarnya. Entah apa yg ia lakukan, menghasilkan suara menjijikan yg terdengar hingga luar kamar. Tidak sekali dua kali, hal itu sering ia lakukan sampai suatu hari ia terdiagnosa penyakit HIV/AIDS.

Ayah memang malaikat, sedikit pun ia tidak marah ataupun dendam pada Tante Gina. Ia tetap menganggap Tante Gina selayaknya orang normal tanpa HIV/AIDS. Hanya saja, jiwa iblis Tante Gina lebih besar. Ia memang berhenti melakukan hubungan terlarang, namun kelakuan iblisnya makin menjadi. Ia mulai mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Perabotan di rumah satu-persatu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya. Sampai Ayah kemudian berkorban, untuk kesekian kalinya, dengan rela dipindahkan ke pelosok untuk memperoleh gaji lebih tinggi. Aku dan Noval mohon kepada Ayah agar kami dapat ikut serta dengan beliau. Namun beliau malah berkata, "Nada dan Noval disini saja ya, menemani dan mengawasi Tante Gina. Ayah bakal pulang setiap dua bulan sekali kok, Ayah janji."

Kata-kata terakhir Ayah. Karena lima jam kemudian kami mendapat kabar bahwa kendaraan yg Ayah tumpangi jatuh ke dalam jurang. Ya Tuhan, betapa malang nasibku dan adikku. Kami yatim piatu, dengan ibu tiri pecandu narkotika dan penderita HIV/AIDS.

Tidak ada simpati dari Tante Gina. Ia bahkan tega memisahkanku dengan Noval. Ya! Tante Gina menjual Noval! Dan lagi-lagi, ia kembali membawa serta banyak laki-laki ke dalam rumah! Aku....aku rasanya tidak sanggup melanjutkan cerita ini. Karena.....karena beberapa jam lalu, salah satu setan peliharaan Tante Gina dengan teganya memaksaku.....melakukannya. Ya kalian pasti tahu! Aku diperkosa olehnya! Oleh laki-laki yg telah tertular penyakit Tante Gina! Dan itu artinya, aku juga tertular!!!!

Sebilah pisau kini ada di tangan kiriku. Aku mengandap-ngedap menuju kamar Tante Gina. Aku melihatnya sedang asik menghisap lintingan ganja. Tanpa rasa hormat aku masuk dan menggorok lehernya. Tentu, dia takkan merasakan sakit. Karena aku menyelamatkannya dari rasa sakit dan menghantarkan nya ke neraka dengan segera. Detik berikutnya, aku menggunakan pisau itu untuk membelah nadiku. Selamat tinggal para pembaca!

*maaf aku tidak menepati janjiku, karena pada akhirnya semua tokoh di cerita ini akan mati. Kecuali tentunya, adik ku tersayang*

Love,
Nada.

Hujan

Halo, namaku Hujan. Seperti namaku, aku sangat mencintai hujan. Berbeda dengan orang-orang, ketika hujan turun aku tidak berteduh. Aku senang menari di bawah hujan.

Suatu hari, ketika aku sedang menari di bawah hujan, seorang pria menghampiriku dan kemudian memberikan payungnya padaku. Ia berkata, "Aku senang melihatmu menari, tapi tolong jangan sakit."

Untuk sesaat aku mendengus kesal, namun ketika memandang mata birunya aku seakan terhipnotis dan mengangguk. Matanya teduh, seakan siap melindungiku dari segala bentuk ancaman. Wajahnya sedikit pucat -atau memang karena warna kulitnya yg seperti itu- dan raut wajahnya tegas dengan rahang yang kuat. Wajahnya tidak asing.

Aku pun berteduh di bawah payungnya dan mengikutinya berjalan. Dari samping, aku curi-curi pandang memandangnya. Ya Tuhan dia sangat tampan! Wajahku memerah sesaat dan disaat bersamaan ia menoleh padaku, aku hanya bisa tertunduk. Ia tersenyum melihat tingkahku.

Kami kemudian memasuki pagar sebuah rumah tua. Bunyi melengking terdengah ketika ia membuka pagar, membuatku menutup telingaku untuk sesaat. Kemudian ia meraih tanganku, "ayo masuk, sebelum kamu tambah pucat." Dan aku mengangguk.

Rumah itu terlihat nyaman, meski cat yang melapisi dinding rumah itu mulai mengelupas disana sini. Pekarangannya cukup luas, namun tidak terawat. Begitu memasuki ruang tamu, kami disambut dengan satu set sofa dari kayu jati lengkap dengan lemari yang memisahkan antara ruang tamu dengan ruang tengah. Berbeda dengan ruang tamu, diruang tengah terdapat satu set sofa empuk berwarna putih dengan televisi 42 inchi disisi lainnya. Penerangan di rumah ini agak sedikit menakutkan, karena hanya terdapat lampu meja untuk ruang tengah -atau mungkin memang sengaja dimatikan untuk menghemat biaya-.

Pria itu menuntutku ke dalam sebuah kamar, "kamu mandi dulu ya, keran air panas berwarna biru dan di lemari itu ada baju seukuran kamu, kamu bebas memilih baju yang mana saja." Aku mengangguk dan masuk ke dalam kamar tersebut.

Selesai mandi, aku berkeliling melihat-lihat isi kamar itu. Di kanan tempat tidur terdapat puluhan bingkai foto yang berisi foto seorang wanita tersenyum sumringah. Di beberapa foto lainnya, aku melihat foto wanita itu bersama pria yg membawaku kemari. Mereka terlihat bahagia.

"Itu adikku, Nadin. Dia meninggal karena kecelakaan tepat satu tahun yang lalu." Suara itu tiba-tiba menggema di dalam kamar itu dan bersamaan dengan aku menaruh foto itu kembali ke tempatnya. "Sup sudah aku panaskan, ayo kita makan."

Aku mengikutinya berjalan ke ruang makan. Seperti ruang tamu, peralatan dan furniture di ruangan itu kebanyakan terbuat dari kayu jati. Aku kemudian mengambil tempat di sisi kiri meja makan. Sesaat kemudian aku terhanyut dalam hangatnya sup buatan pria itu.

Setelah selesai makan, aku merasa sedikit mengantuk. "Apa aku boleh tidur di sofa ini sembari menunggu hujan berhenti?" Pria itu mengangguk. Dan detik berikutnya aku telah terlelap dalam empuknya sofa itu.

Terlelap beberapa jam membuatku nyaman. Aku memutuskan untuk bangun. Tapi hey, tunggu. Aku melihat diriku masih terlelap di sofa itu. Betapa terkejutnya aku melihat sebilah pisau tertancap manis di perutku. Warna merah darah mengotori sofa putih itu. Pria itu terduduk sambil menangis.

"Aku sudah membunuh pembunuh mu, Nad." Katanya sambil terisak.

Waktu kemudian terasa seperti berputar, tepat satu tahun lalu. Aku mengendarai mobil dalam hujan dengan kecepatan penuh, sambil tergesa-gesa. Tiba-tiba dari arah kanan, seorang wanita menyebrang. Kecelakaan tidak terhindarkan.

Wajah wanita itu tidak asing. Dia Nadin. Ya Tuhan, ternyata pembunuh Nadin itu aku. Sejak kecelakaan itu, aku tidak mengingat apapun.

Akhirnya aku mengerti, pria itu sudah menyimpan dendam padaku selama satu tahun ini. Maaf.

Sesaat kemudian, waktu berputar kembali ke rumah tua itu dan aku melihat pria itu menembakkan pistol ke kepalanya bersamaan dengan makin derasnya hujan.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...